Jumat, 12 November 2010

Artikel tentang SEPUTAR RUMAH TANGGA

Mencegah Penyelewengan

Mencegah Penyelewengan
Ada banyak jalan untuk menyeleweng. Tetapi, lebih banyak lagi pintu yang bisa ditutup untuk mencegah perselingkuhan. Berikut ini beberapa langkah pencegahan yang perlu Anda pikirkan.
  1. Terimalah bahwa ada kemungkinan Anda tertarik secara seksual pada orang lain dan memiliki fantasi-fantasi seksual. Tidak ada gunanya menyangkal. Bahkan orang suci pun tetap punya instink seksual sehingga sama saja peluangnya dengan para pendosa untuk tertarik pada orang lain, secara seksual. Begitu pula, pasangan yang paling puas di ranjang pun, masih menyimpan fantasi seks. Dengan mengakui kalau pikiran-pikiran seperti itu bisa berkembang kapan saja, maka Anda tak perlu khawatir dengan menyembunyikan rasa tertarik dan fantasi tersebut. Yang penting, Anda tidak berusaha membuktikan atau mengubah rasa tertarik itu menjadi kenyataan.
  2. Langkah berikutnya, Anda musti bergaul dengan orang-orang yang cenderung monogami. Kalau mayoritas kawan Anda suka jajan ke lokalisasi pelacuran, sangat sulit untuk menolak ajakan mereka. Mungkin satu-dua kali, Anda berhasil menghindar, tetapi pada ajakan ke sekian, Anda tak punya alasan lagi untuk menolak. Apabila kebanyakan teman Anda punya istri lebih dari satu, besar kemungkinan Anda juga akan mengikuti keputusan mereka.
  3. Bekerja keras untuk membangun rumah tangga Anda. Usahakan agar perkawinan Anda seksi dan berintimlah dengan pasangan Anda. Jadikan perkawinan sebagai bagian penting identitas Anda. Bawa ke mana pun perkawinan Anda. Jika orang bertanya apakah Anda sudah menikah, jawablah dengan bangga, “Ya!” Ceritakan dengan jujur kebahagiaan-kebahagiaan Anda bersama istri/suami. (Agar bisa jujur, berarti jauh sebelumnya Anda musti menciptakan kebahagiaan tersebut.)
  4. Bersikap realistis terhadap perkawinan Anda. Jangan terlalu berharap perkawinan akan membuat Anda bahagia. Pandanglah pasangan Anda sebagai sumber kenyamanan daripada menganggapnya sebagai penyebab ketakbahagiaan. Terimalah kenyataan perkawinan. Memang tidak selalu indah. Juga terimalah realitas bahwa Anda berdua tidak sempurna.
  5. Pertahankan perkawinan untuk tetap adil dan setara (kalau belum, ya musti bekerja keras membangun agar setara.) Bagilah tugas-tugas rumah tangga, tanggung bersama kewajiban sebagai orangtua. Jika tidak, satu orang akan menjadi orangtua penuh waktu, sementara satu orang lainnya menjadi anak-anak penuh waktu yang harus dipelihara terus. Semakin adil, seimbang dan setara, kedua pasangan akan makin saling menghargai.
  6. Apabila Anda belum menikah, berhati-hatilah dalam memilih pasangan. Sebagai contoh, menikahlah dengan seseorang yang percaya akan, dan memiliki riwayat keluarga, monogami. Sungguh bukan ide yang baik untuk menjadi suami ke empat dari seorang janda yang pernah tidak setia pada ketiga suaminya. Juga, kawinlah dengan orang yang menghargai dan menyukai gender Anda. Kalau dari semula ia sudah tidak menyukai gender Anda (misalnya, menganggap gender perempuan sebagai kelas lebih rendah), nanti jika ia sudah tak bisa melihat betapa spesialnya diri Anda, maka ia akan menganggap diri Anda sebagai bagian dari gender yang dibencinya itu.
  7. Jangan lupa menelpon ke rumah, setiap hari, setiap kali Anda melakukan perjalanan ke luar kota. Kalau tidak, Anda akan mulai memiliki kehidupan yang terpisah. Dan pertahankan untuk tetap setia. Kalau Anda ingin pasangan Anda setia, sungguh lebih baik kalau Anda juga setia. Dan pastikan kalau Anda bersikap terbuka, jujur dan otentik. Kebohongan akan melahirkan kehidupan rahasia yang kemudian bisa menyemaikan penyelewengan.
  8. Akhirnya, jangan melebih-lebihkan konsekuensi suatu perselingkuhan, jika terjadi. Penyelewengan tidak sama dengan perceraian, pembunuhan, atau bunuh diri. Kendalikan diri Anda dan perbaiki kembali perkawinan.
Penyelewengan memang merusak perkawinan. Sisihkan waktu untuk membuat perkawinan Anda tahan terhadap perselingkuhan sehingga Anda bisa menghindari rasa sakit, rasa bersalah dan penyesalan. Dan jika Anda sudah terjatuh ke dalam lubang penyelewengan, bangun kembali perkawinan Anda.



KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA


Tanda-tanda Peringatan dan Gejala-gejala Hubungan yang Menistakan  
Kalau menurut Anda pasangan Anda kasar, atau Anda menengarai kalau orangyang Anda kenal mengalami tindak kekerasan, cobalah pertimbangkan bendera merah dan informasi lain tentang KDRT yang terangkum dalam buku ini.   Tidak semua kekejaman berupa tindakan kekerasan jasmaniah; penistaan emosional juga bisa meninggalkan luka yang dalam dan bekasnya sulit hilang.
Mengenali tanda-tanda peringatan dan gejala-gejala pasangan yang kejam adalah langkah pertama. Tetapi mengambil tindakan adalah langkah terpenting dalam membebaskan diri.

Artikel  ini membahas:
-          Apa itu kekerasan atau penistaan dalam rumah tangga
-          Lingkaran kekerasan
-          Tanda-tanda hubungan yang kejam
-          Jenis-jenis kekerasan dan penistaan domestik
-          Tanda-tanda peringatan KDRT

Catatan: kondisi ekonomi yang penuh tekanan memicu lebih banyak kekerasan antarpasangan. Untuk belajar bagaimana mengurangi stres dalam hubungan Anda, bacalah Bab “Mengendalikan Stres dalam Rumah Tangga.”

Apa Sih KDRT Itu?
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), juga disebut sebagai kekerasan antarpasangan, terjadi ketika satu orang dalam suatu hubungan intim atau perkawinan mencoba mendominasi dan mengontrol pasangannya. Seorang penista (pelaku kekejaman) tidak “bermain dengan aturan yang telah ditetapkan” – dalam sepakbola, ia melanggar prinsip-prinsip permainan yang “fair play.”
Ia memanfaatkan ketakutan, rasa bersalah, rasa malu, dan intimidasi untuk menindas Anda dan sekaligus merebut seluruh kekuasaan atas diri Anda. Dia mengancam Anda, melukai Anda, atau melukai orang-orang di sekitar Anda – entah anak-anak, mertua, saudara atau pembantu. Penistaan rumah tangga yang juga melibatkan tindakan kekerasan fisik disebut sebagai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Apakah korban KDRT selalu wanita? Kebanyakan, tapi tak selalu. Ada juga lelaki yang menjadi korban KDRT.
Penistaan domestik ini terjadi baik di antara pasangan heteroseksual maupun yang sesama jenis kelamin. Ya, ada pula pasangan gay, lesbian dan sesama waria yang melakukan dan menjadi korban kekerasan. Kecuali soal perbedaan gender, kekerasan domestik ini terjadi dalam semua rentang usia, latar belakang etnis dan ras, serta tingkat kemakmuran finansial. Artinya, baik yang masih muda, tengah baya maupun manula bisa melakukan dan menjadi korban KDRT. Penistaan ini juga terjadi pada suku apa pun, ras apa pun, dan budaya apa saja. Bukan hanya yang miskin saja yang melakukan kekerasan dan menjadi korban, juga yang kaya raya, dan yang terkenal – seperti dalam kasus Manohara Pinot dan Cici Paramida.
KDRT juga tidak hanya terjadi ketika pasangan itu sedang terikat dalam tali perkawinan. Ketika masih pacaran atau bertunangan juga bisa terjadi. Begitu pula, ketika dalam masa berpisah maupun saat sudah bercerai, juga bisa terjadi penistaan.
Bila kita melihat kasus-kasus KDRT yang menjadi santapan berita di televisi dan koran, pelaku kekerasan sering beralasan kalau itu terjadi karena ia tidak mampu mengontrol perilakunya sendiri. Entah dalam pengaruh alkohol, obat, atau bahkan ada yang mengaku dalam pengaruh kekuatan supranatural. Kenyataannya dan sesungguhnya, kekerasan itu adalah pilihan sadar yang dibuat oleh si penista agar bisa mengontrol sepenuhnya kehidupan istrinya atau pasangannya.

Pelaku Sadar Sepenuh-penuhnya
Alasan yang paling sering dikemukakan pelaku mengapa ia sampai melakukan tindakan-tindakan kekerasan adalah karena ia sedang dalam kondisi marah atau marah besar. Sejatinya, ia melakukan penistaan bukan karena dikendalikan rasa marah. Buktinya?
Ia tidak menistai atau berbuat kejam kepada orang-orang lain, entah itu bosnya yang hampir setiap hari memarahinya atau tukang pompa bensin yang menumpahkan bensin di mobilnya. Ia juga tidak membentak-bentak pelayan restoran yang menumpahkan kecap di bajunya atau melecehkan wanita yang berlama-lama dalam antrean di bank. Ia sengaja menunggu sampai tidak ada saksi – sampai tiba di rumah, dan mengejami orang yang ia katakan ia cintai.
Kalau Anda menanyai seorang wanita korban kekerasan, “Apakah suami Anda berhenti melakukan kekerasan ketika telepon di rumah berbunyi atau ketika tetangga datang bertamu atau saat polisi mengetuk pintu?” Perempuan itu akan menjawab, “Ya, ia berhenti.”
Bahkan sering kali, ketika tetangga, polisi atau sukarelawan muncul, si pelaku ini tampak tenang dan sanggup menguasai diri. Sebaliknya, (wanita) korbanlah yang tampak histeris. Kalau si pelaku ini benar-benar “di luar kontrol” tentulah ia tak mampu menghentikan dirinya sendiri. Namun, karena ia memang melakukannya dengan penuh kesadaran, maka ia tahu betul kalau tetap melakukan kekerasan ketika dilihat orang-orang lain hanya akan merugikan dirinya sendiri, karena itu ia selalu berhenti dan tampak tenang ketika ada kehadiran orang lain.
Bukti lain kalau ia sengaja dan penuh kesadaran? Pelaku tadinya hanya berani mendorong, tetapi lama kelamaan juga memukul. Hanya saja, ia memukul, meninju, dan tindakan kekerasan lain di bagian-bagian tubuh yang bekas-bekas lukanya tak gampang terlihat orang, utamanya di bagian tubuh yang tertutup pakaian. Kalau ia tak dapat mengontrol diri, bagaimana mungkin ia membatasi di mana tempat ia mendaratkan tendangan atau tinjunya?

Apa Tujuannya Berbuat Kekerasan?
Penistaan dan kekerasan terhadap pasangan dilakukan dengan satu tujuan utama: untuk mendapatkan dan mempertahankan kendali atas si korban. Selain kekerasan jasmaniah, si penista menggunakan beberapa taktik di bawah ini untuk menegaskan kekuasaannya atas istri atau pasangannya:
-          Dominasi – pelaku kekejaman membutuhkan rasa bahwa dirinyalah yang berwenang dalam hubungan mereka. Dialah yang akan mengambil pelbagai keputusan untuk diri Anda dan anggota keluarga lainnya. Dia memerintahkan apa saja yang harus Anda lakukan, dan berharap Anda mematuhinya tanpa mempertanyakan, apalagi membantah. Penista Anda mungkin memperlakukan Anda seperti budak, anak kecil atau bahkan miliknya.
-          Penghinaan – seorang penista akan melakukan segala yang ia bisa untuk membuat Anda merasa hina, jelek, buruk, cacat atau tidak berharga. Bila akhirnya Anda percaya bahwa diri Anda memang tidak berharga bahwa tidak seorang pun di dunia ini yang menginginkan Anda, maka sangat besar kemungkinan Anda takkan meninggalkannya. Bagaimana cara ia merendahkan Anda? Mulai dari memberi nama panggilan yang melecehkan, seperti ‘Ndut’ atau ‘Kerempeng’, dan mempermalukan Anda di depan umum seperti meneriaki Anda “Goblog, begitu saja nggak bisa.” Itu semua adalah senjatanya yang sengaja dirancangnya untuk mengikis rasa percaya diri Anda dan membuat Anda merasa tidak berdaya sama sekali.
-          Isolasi – untuk meningkatkan ketergantungan Anda kepadanya, si peleceh ini sengaja memisahkan Anda dari dunia luar. Ia sengaja melarang atau membatasi Anda untuk bertemu dengan sanak keluarga dan kawan-kawan Anda. Bahkan, dia melarang Anda pergi kuliah atau bekerja. Tak sedikit pelaku yang bahkan melarang anak-anaknya pergi ke sekolah. Anda harus meminta ijin untuk melakukan apa pun, pergi ke suatu tempat, atau menemui seseorang.
-          Ancaman – pelaku seringkali mengancam atau menakuti-nakuti para korbannya agar tidak meninggalkan dirinya. Ia mengancam akan melukai atau membunuh Anda, anak-anak Anda atau anggota keluarga lainnya, bahkan binatang peliharaan. Ada juga yang mengancam akan bunuh diri atau melukai diri sendiri kalau sampai Anda meninggalkannya, seakan-akan Andalah yang bersalah dan bertanggung jawab atas perbuatannya itu. Bisa jadi ia juga menakut-nakuti akan melaporkan Anda atau membuat tuduhan palsu ke polisi atau pihak berwenang lain.
-          Intimidasi – penista Anda juga menggunakan berbagai taktik intimidasi agar Anda mau tunduk menyerah kepadanya. Taktik ini antara lain memasang tampang mengancam di wajahnya atau dengan bahasa tubuh memperagakan kekerasan yang bakal dilakukannya seperti mengacungkan tinju, pura-pura menjambak rambut Anda, dll. Ia juga mengintimidasi dengan membanting barang-barang di depan Anda, merusak barang-barang di rumah, melukai binatang kesayangan Anda, atau sengaja memamerkan senjatanya dengan meletakkannya di meja atau tempat-tempat yang dengan mudah Anda lihat. Pesannya sangat efektif: kalau Anda tidak memathuinya, maka kekerasan dan kekejaman bakal terjadi.
-          Menyangkal dan Menyalahkan para pelaku kekerasan ini sangat pintar membuat alasan-alasan atas perbuatan-perbuatannya yang tak beralasan. Dia akan menyalahkan masa kanak-kanaknya yang tidak bahagia atau pernah menjadi korban kekerasan. Bisa juga ia mengambinghitamkan suasana hatinya yang tidak enak atau nasib buruk yang dialaminya hari itu. Bahkan, ia menyalahkan korbannya – Anda dan anak-anak – atas segala perbuatannya. Penista ini juga menyangkal segala tindak kekejaman yang dilakukannya, menganggapnya tidak pernah terjadi atau hanya sesekali saja. Yang jelas, ia menimpakan segala tanggung jawab ke pundak Anda: bahwa kekerasan dan penistaan yang dilakukannya adalah kesalahan Anda. Ia menuduh Anda sebagai sumber atau penyebabnya.  

Siklus Kekerasan
KDRT mengikuti pola tertentu. Pola ini disebut sebagai siklus kekerasan yang terdiri atas enam fase:
-          Penistaan – pelaku berbuat agresif atau tindakan kekerasan. Penistaan ini adalah ‘permainan kekuasaan’ yang dirancangnya dengan sengaja untuk menandaskan kepada korban, ‘siapa bos di rumah ini.’
-          Rasa Bersalah – setelah melakukan tindakan kekerasan, pelaku merasa bersalah, tetapi bukan atas apa yang telah ia lakukan terhadap korban. Rasa bersalah ini muncul dari rasa takut tertangkap dan menghadapi konsekuensi-konsekuensi sosial dan hukum.
-          Rasionalisasi atau Mencari-cari Alasan – pelaku merasionalisasi apa yang sudah diperbuatnya. Ia punya serentetan alasan atau malah menyalahkan korban atas perilaku kasarnya – pokoknya mengibaskan tanggung jawab dari pundaknya.
-          Perilaku ‘Normal’ – penista melakukan segala yang ia bisa untuk memperoleh kembali kontrol dan menjaga agar korban tetap bersamanya. Ia bertindak seakan-akan tidak terjadi apa-apa atau ia kembali menunjukkan pesonanya. Fase ‘bulan madu’ yang tenang ini berhasil memberi harapan kepada korban bahwa kali ini pasangannya sungguh-sungguh telah berubah.
-          Fantasi dan Perencanaan – pelaku mulai membayangkan untuk menista korbannya lagi. Ia menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan dan mencari-cari kesalahan pasangannya dan bagaimana cara ‘menghukumnya.’ Kemudian ia membuat rencana untuk mengubah fantasi itu menjadi kenyataan.
-          Menjebak – pelaku kemudian mulai berusaha menjalankan rencananya dan menjebak korbannya. Ia sengaja menyiptakan keadaan dimana ia bisa ‘membenarkan diri’ untuk melakukan tindakan kekerasan dan pelecehan terhadap korbannya.

Siklus Lengkap KDRT: Sebuah Contoh Kasus   
Seorang pria menista istrinya. Setelah meninju perut istrinya, ia mengalami rasa bersalah pada dirinya sendiri. Ia berkata, “Aku minta maaf karena telah menyakitimu.” Apa yang tidak ia ucapkan adalah, “...karena aku takut tertangkap.” Ia kemudian mencari-cari alasan tindakan kekejamannya dengan mengatakan, misalnya, dengan menuduh istrinya telah berselingkuh dengan lelaki lain. Ia menghardik istrinya, “Kalau kamu bukan pelacur murahan seperti ini, aku tidak akan memukulmu.” Ia kemudian berpura-pura merasa patah hati untuk meyakinkan istrinya bahwa ia tidak akan melukai istrinya lagi. Mereka mesra kembali selama beberapa hari. Tetapi ia kemudian mulai mengingat-ingat tindakannya di masa lalu dan bagaimana cara untuk menyakiti kembali istrinya. Ia berencana menyuruh istrinya pergi berbelanja barang kebutuhan rumah tangga. Apa yang tak dikatakannya kepada istrinya adalah ia sengaja menjebak istrinya agar pulang kembali ke rumah dalam waktu yang cukup lama. Ketika istrinya terjebak kemacetan karena pulang bersamaan dengan jam orang makan siang, ia merasa punya alasan untuk menyakitinya kembali karena, “...kamu berselingkuh dengan pelayan supermarket tadi.” Ia berhasil menjebak istrinya, sementara istrinya hanya bisa kebingungan dan dilanda rasa takut.

Permintaan maaf penista Anda dan bahasa tubuhnya yang penuh rasa cinta di antara episode-episode kekejaman membuat Anda merasa sulit untuk meninggalkannya. Ia berhasil membuat Anda percaya bahwa Andalah satu-satunya orang yang bisa menolongnya, bahwa kali ini segalanya akan berubah dan berbeda, dan bahwa ia benar-benar menyintai Anda. Akan tetapi, harus Anda ingat, bahaya itu sungguh-sungguh nyata. Bahaya itu belum hilang.
KDRT biasanya akan terus meningkat. Makin lama makin keras dan makin kejam. Dimulai dengan ancaman-ancaman dan kata-kata tak senonoh, berubah menjadi kekerasan fisik seperti mendorong, lalu menampar dan akhirnya menendang dan memukul dengan tangan kosong. Bisa jadi kekerasan fisik itu jika didiamkan saja, akan makin kejam dengan melibatkan senjata dan bisa berakhir pada pembunuhan.
Walau luka-luka jasmaniah tampak jelas sebagai bahaya yang paling berbahaya, sesungguhnya pelecehan emosional dan psikologis juga tidak kalah kejamnya. Bahkan, dampak buruknya bisa berlangsung sepanjang hidup – jika tak segera mendapat penanganan dari profesional. Tidak seorang pun, perempuan maupun lelaki, anak-anak maupun orang dewasa, yang layak mendapatkan penistaan dan derita seperti itu. Dan langkah pertama Anda untuk lepas bebas adalah mengetahui dan menyadari bahwa Anda berada dalam hubungan yang menistakan. Begitu Anda menyadari keadaan Anda yang menderita kekerasan, maka Anda bisa meminta tolong. Anda berhak dan layak mendapatkan bantuan.

Tanda-tanda Hubungan yang Menistakan
Ada banyak tanda-tanda hubungan yang tidak sehat dan menistakan. Tanda yang paling penting adalah rasa takut pasangan Anda. Tanda-tanda lainnya termasuk pasangan yang meremehkan Anda atau menyoba mengontrol Anda, juga perasaan rendah diri, tidak berharga, tidak berdaya dan putus asa.
Untuk menentukan apakah hubungan Anda menistakan atau tidak, jawablah pertanyaan-pertanyaan di tabel di bawah ini. Semakin banyak jawaban “ya,” berarti semakin besar kemungkinan Anda berada di dalam hubungan yang merusak.

TANDA-TANDA KDRT 
Perasaan dan Pikiran Anda
Apakah Anda:
-          Sering merasa takut terhadap pasangan Anda  (Ya – Tidak)
-          Merasa bahwa Anda tidak bisa melakukan satu pun hal baik/benar bagi pasangan Anda - (Ya – Tidak)
-          Menghindari topik-topik tertentu karena takut membuat marah pasangan Anda (Ya – Tidak)
-          Merasa yakin bahwa Anda memang layak disakiti dan diperlakukan dengan buruk (Ya – Tidak)
-          Bertanya-tanya apakah Anda yang gila (Ya – Tidak)
-          Merasa tidak berdaya atau bahkan seperti tidak bisa merasakan apa-apa lagi (Ya – Tidak)

Perilaku Pasangan Anda yang Meremehkan
Apakah pasangan Anda:
-          Melecehkan, mengritik, menghardik atau menyumpahi Anda? (Ya – Tidak)
-          Memperlakukan Anda begitu buruk sehingga Anda merasa malu bertemu dengan kawan-kawan atau keluarga? (Ya – Tidak)
-          Mengabaikan atau merendahkan pandangan-pandangan Anda atau pencapaian-pencapaian Anda? (Ya – Tidak)
-          Menyalahkan Anda atas perbuatannya yang kejam? (Ya – Tidak)
-          Memandang Anda sebagai miliknya atau obyek seksual, alih-alih sebagai seorang manusia yang berharkat? (Ya – Tidak) 

Ancaman atau Tindakan Kekerasan Pasangan Anda 
Apakah pasangan Anda:
-          Memiliki perangai buruk atau gampang meledak marah? (Ya – Tidak)
-          Melukai Anda, atau mengancam untuk melukai atau membunuh Anda? (Ya – Tidak)
-          Mengancam untuk membawa pergi anak-anak atau mengancam untuk mencelakai mereka? (Ya – Tidak)
-          Mengancam melakukan bunuh diri atau melukai diri sendiri kalau Anda meninggalkannya? (Ya – Tidak)
-          Memaksa Anda untuk berhubungan seks? (Ya – Tidak)
-          Merusak barang-barang milik Anda? (Ya – Tidak)

Perilaku Pasangan Anda yang Mengontrol Anda 
Apakah pasangan Anda:
-          Cemburu berlebihan dan sangat posesif? (Ya – Tidak)
-          Mengontrol kemana Anda pergi dan apa yang akan Anda lakukan? (Ya – Tidak)
-          Melarang Anda bertemu dengan kawan-kawan atau keluarga? (Ya – Tidak)
-          Membatasi akses Anda pada uang, telepon, motor atau mobil? (Ya – Tidak)
-          Terus menerus mengecek keberadaan Anda?  (Ya – Tidak)

Jenis-jenis KDRT
Ada beberapa jenis KDRT, termasuk penistaan emosional, jasmaniah, seksual, dan ekonomi.  Kebanyakan pelaku KDRT tidak hanya melakukan satu jenis pelecehan, melainkan sekaligus beberapa macam penistaan.

Penistaan Emosional atau Psikologis
Penistaan emosional atau psikologis bisa berupa tindakan verbal maupun nonverbal. Tujuannya adalah membuat Anda merasa tidak berharga dan merasa tidak sanggup mandiri. Kalau Anda korban penistaan emosional, boleh jadi Anda merasa bahwa tidak ada jalan keluar dari hubungan ini, atau bahwa tanpa pasangan Anda berarti Anda tidak mempunyai apa-apa.
Penistaan emosional termasuk pelecehan verbal seperti meneriaki Anda, menyumpah, memanggil nama Anda dengan sikap yang merendahkan, menyalah-nyalahkan, dan mempermalukan Anda. Isolasi, intimidasi, dan perilaku mengontrol juga termasuk dalam pelecehan emosional. Selain itu, pelaku KDRT yang melakukan penistaan psikologis juga sering mengancam akan melakukan kekejaman fisik.
Kebanyakan orang beranggapan bahwa kekerasan jasmaniah jauh lebih buruk daripada penistaan emosional, karena kekerasan fisik itu bisa membuat Anda masuk rumah sakit dan meninggalkan luka dan parut. Padahal, parut penistaan psikologis juga sangat nyata, dan bahkan sangat dalam. Kenyataannya, penistaan emosional bisa sama merusaknya dengan kekerasan fisik – kadang-kadang bahkan lebih kejam. Lagi pula, pelecehan emosional ini biasanya makin lama makin memburuk, dan tak jarang diikuti dengan kekejaman fisik.

Kekerasan Jasmaniah
Bila orang berbicara soal kekerasan rumah tangga, biasanya merujuk pada kekerasan fisik seorang pasangan terhadap yang lain. Kekerasan jasmaniah adalah penggunaan kekuatan fisik terhadap seseorang yang melukai atau membahayakan orang tersebut. Banyak sekali perilaku yang termasuk kekerasan fisik, termasuk menampar, memukul, mencengkeram, mencekik, menjambak, membuang barang-barang, dan menyerang dengan senjata.
Kekerasan fisik adalah kejahatan yang melanggar hukum, apakah itu terjadi di dalam maupun di luar keluarga. Polisi berkuasa dan berwenang untuk melindungi Anda dari serangan fisik tersebut.

Penistaan Seksual
Penistaan seksual sangat jamak terjadi dalam hubungan yang bersifat melecehkan. Menurut Pusat Krisis Wanita dan Anak-anak, antara sepertiga sampai separuh wanita yang mengalami KDRT pernah diperkosa oleh pasangannya sendiri, paling tidak satu kali selama hubungan (perkawinan) mereka.
Setiap keadaan dimana Anda dipaksa untuk melakukan hubungan seksual yang melecehkan, yang tidak aman dan tidak Anda inginkan adalah penistaan seksual. Seks yang dipaksakan, bahkan oleh pasangan intim yang biasanya Anda mau berhubungan seks dengannya, adalah tindakan agresi dan kekerasan. Perlu Anda waspadai, perempuan yang pasangannya menistakannya secara fisik dan seksual berisiko tinggi terluka atau terbunuh.

Penistaan Ekonomi atau Finansial
Ingat, tujuan pelaku KDRT adalah mengendalikan Anda. Dan ia akan sering melukai (fisik dan psikis) Anda agar ia mencapai tujuannya tersebut. Selain melukai tubuh dan perasaan Anda, pelaku juga melecehkan kondisi keuangan Anda.
Penistaan ekonomi termasuk:
-          Mengontrol keuangan keluarga.
-          Memegang semua uang atau kartu kredit.
-          Memberi Anda hanya uang saku.
-          Memaksa Anda menghitung setiap Rupiah yang Anda belanjakan.
-          Mencuri milik Anda atau mengambil uang milik Anda.
-          Mengeksploitasi aset-aset Anda demi keuntungan pribadinya.
-          Mengontrol semua kebutuhan dasar, seperti makanan, pakaian, obat-obatan dan tempat tinggal.
-          Menghalangi Anda untuk bekerja atau memilih karir Anda sendiri.
-          Mengganggu pekerjaan Anda, seperti membuat Anda terpaksa membolos kerja, sering menelpon, dsb.

Tanda-tanda Peringatan KDRT: Tindakan Pencegahan 
Memang sulit mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi di balik pintu yang tertutup, tetapi ada beberapa tanda dan gejala KDRT yang cukup mudah ditengarai. Kalau Anda menyaksikan sejumlah tanda-tanda peringatan di bawah ini pada seorang kawan, saudara, atau teman kerja, Anda bisa menduga kalau ia mengalami KDRT.
-          Sering terluka, dengan alasan ia mengalami “kecelakaan” di rumah.
-          Sering dan mendadak membolos sekolah atau bekerja.
-          Sering menerima telepon yang melecehkan dari pasangannya.
-          Takut pada pasangannya, terutama pada kemarahan pasangannya.
-          Kepribadiannya berubah (misalnya, wanita yang tadinya dikenal ramah mendadak menjadi pendiam, bahkan menarik diri).
-          Berlebihan takutnya pada konflik.
-          Perilakunya sangat mengalah, sangat tidak tegas.
-          Menjauhkan diri atau mengisolasi diri dari kawan-kawan dan keluarganya.
-          Sumber daya hidup pribadinya sangat tidak mencukupi (uang, kartu kredit, kendaraan) jika dibandingkan dengan kondisi ekonomi keluarga/suaminya.

KDRT: Bantuan, Perawatan, Intervensi, dan Pencegahan
Depresi, Menangis, dan Harga Diri Rendah
Melaporkan dugaan terjadinya KDRT adalah tindakan yang sangat penting. Kalau Anda takut terlibat, ingat bahwa laporan Anda bersifat rahasia dan pihak berwenang akan melakukan sesuatu untuk melindungi kerahasiaan Anda. Anda tidak diwajibkan menyebutkan nama Anda dan kecurigaan Anda akan diselidiki dulu sebelum polisi menahan seseorang. Yang paling penting, Anda bisa melindungi korban dari bahaya lebih lanjut dengan meminta bantuan lembaga terkait.
Bantuan, Perawatan, Intervensi, dan Pencegahan mencakup melindungi Anda sendiri dari KDRT dan meninggalkan hubungan yang merusak ini dengan aman, termasuk mendapatkan tempat tinggal yang aman setelah Anda pergi meninggalkan rumah, dan menghadapi trauma KDRT.



Jika Masih Bisa Diselamatkan, Mengapa Musti Bercerai?


Sekian tahun lalu, Alina dan Rasyidi sulit membayangkan mereka hidup terpisah. Hampir tiap malam mereka suka berjalan-jalan di taman di dalam kompleks perumahannya, berbelanja bersama tiap akhir pekan, dan liburan akhir tahun di Bali atau Bukit Tinggi. Namun, saat-saat terindah bagi mereka adalah menyaksikan ketiga anaknya lahir dan tumbuh besar. Sekarang, sekadar membayangkan mereka berada di ruangan yang sama saja bisa membuncahkan bendungan emosi di dalam hati mereka. Dalam beberapa minggu saja, perceraian mereka sudah final. Mereka pun beranggapan setumpuk kesulitan dan segunung sakit hati bagi Alina, Rasyidi dan ketiga anaknya akan cepat berlalu. Benarkah akan berlalu?

Bagi banyak orang, pilihan mengakhiri perkawinan tampaknya menjadi satu-satunya solusi untuk menghapus rasa sakit dari sebuah hubungan baik yang berubah menjadi buruk, bahkan sangat buruk. Ada tiga hal pokok yang bisa menyelamatkan perkawinan. Yang pertama adalah berkat Tuhan. Kedua, komitmen pasangan pada masing-masing. Dan faktor ketiga adalah komitmen mereka pada anak-anaknya. Berkat ketiga komponen penting itu, tak sedikit perkawinan yang mampu melewati badai kekacauan hubungan. Sayangnya, sejumlah perkawinan tetap tidak bisa diselamatkan.

Mari hadapi kenyataan, bahwa tidak semua perkawinan diikat di surga. Nyatanya, ada ribuan orang yang sudah menikah sekarang ini menderita penistaan fisik, psikologis dan/atau seksual terus menerus di tangan pasangannya. Tidak sedikit pula lelaki dan wanita yang sudah menikah tak henti-hentinya berselingkuh. Dalam keadaan seperti itu, tak sulit memahami mengapa sebuah perkawinan berakhir dalam perceraian.

Namun, walaupun potensi efek negatif perceraian pada anak-anak dan orang dewasa dalam hubungan ini, namun menamatkan perkawinan, kadang-kadang, menjadi keputusan yang paling bertanggungjawab. Meskipun sejumlah perceraian dilakukan atas dasar agama dan bahwa sebagian pria dan wanita bercerai bukan atas kehendak mereka, namun tetap saja dampak negatif jangka panjang perceraian tetap akan dialami anak-anak.

Perkawinan dengan Banyak vs Sedikit Konflik. Orang yang bercerai kerap mengatakan bahwa keputusan itu dibuat karena menginginkan yang terbaik untuk anak-anak mereka. Sejumlah pakar perkawinan dan keluarga sepakat bahwa dalam kondisi tertentu, perceraian bisa saja demi kebaikan anak dalam jangka panjang.

Ini terjadi pada anak-anak yang hidup bersama dengan orangtua di dalam perkawinan yang disebut ‘berkonflik tinggi.’ Mereka sering terlibat dalam pertikaian yang agresif, merusak dan bermusuhan. Akan tetapi, diperkirakan hanya 30 persen perceraian yang terjadi dalam kondisi seperti ini.

Sekitar 70 persen perceraian sesungguhnya hanya terjadi dalam perkawinan ‘berkonflik rendah.’ Banyak pakar percaya bahwa perkawinan mereka sangat berpotensi untuk bisa diselamatkan. Bahkan, meneruskan perkawinan mereka tidak akan menimbulkan stres yang lebih negatif bagi si anak, dibandingkan jika menamatkan perkawinan mereka.

Dalam perkawinan low-conflict, orangtua tidak saling membenci. Banyak yang hanya mengalami kebosanan sehingga perkawinan mereka sangat berpotensi bisa diselamatkan. Riset membuktikan bahwa jika anak-anak dari perceraian dalam perkawinan berkonflik rendah mencapai dewasa, mereka kerap mengalami gangguan psikologis, berkurangnya kebahagiaan, ikatan yang tidak kuat dengan keluarga dan teman-teman serta berkurangnya mutu perkawinan.

Apabila banyak perkawinan ini dapat dipertahankan, mengapa begitu banyak orang memilih bercerai? Banyak penelitian menunjukkan bahwa “makin banyak orang Indonesia yang meninggalkan perkawinannya lebih dini dan lebih sering dibandingkan pada masa lalu, karena masyarakat semakin bisa menerima perceraian, mudahnya perceraian dilakukan dan karena makin banyak keluarga yang memiliki harapan-harapan yang tidak realistik. Tayangan infotainment yang acap membesar-besarkan perceraian para selebritis membuat masyarakat menganggap perceraian hal yang “biasa-biasa saja.”

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi peningkatan kasus perceraian, antara lain menurunnya nilai komitmen, tumbuhnya mentalitas “aku duluan” dan keyakinan bahwa perceraian – terpisah dari penyelewengan – bukanlah dosa yang sesungguhnya. Tidak sedikit orang yang beralasan, “bagaimana mungkin Tuhan menginginkan orang yang dicintaiNya untuk ‘menderita’ selama hidupnya karena berada dalam perkawinan yang tidak membuat mereka bahagia?”

Salah satu faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam mengkaji alasan-alasan orang bercerai sekarang ini adalah, “Mereka tidak sepenuhnya memahami kerusakan yang terjadi dalam kehidupan mereka sendiri maupun yang mereka torehkan di dalam kehidupan anak-anaknya.” Karenanya, peranan media massa sangat penting dalam menyosialisasikan dampak buruk perceraian pada anak-anak ini.

Kalau Anda di dalam sebuah perkawinan yang Anda yakini tidak menuju ke mana-mana, dan kebutuhan-kebutuhan Anda tidak terpenuhi, ambillah waktu utuk memahami dengan penuh pendalaman berbagai fakta tentang perceraian sebelum Anda secara serius menimbang-nimbang perceraian sebagai solusi mengatasi masalah perkawinan Anda.




Efek Negatif Perceraian
Efek Negatif Perceraian: Nomor Tiga Setelah Peperangan dan Bencana Alam



Di bawah ini adalah ringkasan dari sebagian efek perceraian. Dalam jurnal yang diterbitkan oleh Asosiasi Pengacara Perkawinan Amerika pada 1997 lalu, disebutkan bahwa “Hanya tindakan perang dan bencana alam saja yang lebih berbahaya pada jiwa anak-anak daripada proses perceraian.” Jika diurutkan, efek traumatis perceraian ini berada di peringkat ketiga setelah peperangan dan bencana alam. Riset ilmu-ilmu sosial mengungkapkan efek perceraian bukan hanya berdampak pada anak-anak sampai mereka dewasa, tetapi juga mempengaruhi anak-anak generasi berikutnya.
  • Anak-anak dari keluarga yang bercerai drop out dari sekolah dua kali lipat dibandingkan keluarga yang masih utuh.
  • Prediktor tunggal terbaik bunuh diri remaja adalah perceraian orangtua dan hidup di rumah dengan orangtua tunggal.
  • Anak-anak dari orangtua yang bercerai lebih mungkin menjadi anak nakal pada umur 15 tahun, tak peduli kapan perceraian terjadi, dibandingkan anak-anak dari keluarga utuh.
  • Dengan membandingkan semua struktur keluarga, penggunaan obat terlarang paling rendah pada keluarga yang perkawinannya masih utuh.
  • Anak-anak yang orangtuanya bercerai sedikit yang lulus SMA apalagi perguruan tinggi.
  • Anak-anak dari keluarga yang bercerai kurang bisa membaca, mengeja dan matematika, serta lebih kerap mengulang kelas dibandingkan anak dari keluarga utuh.
  • Tingkat kehadiran di perguruan tinggi sekitar 60 persen lebih rendah di antara anak-anak dari keluarga bercerai.
  • Perceraian bertalian erat dengan tingginya depresi, menarik diri dari teman dan keluarga; perilaku agresif, impulsif, atau hiperaktif; dan jarang ikut dalam kegiatan kelas atau menjadi anak yang suka mengganggu.
  • Anak-anak berusia dewasa dari orangtua bercerai lebih sering mengalami gangguan kesehatan mental daripada mereka yang berasal dari keluarga utuh.
  • Balita lebih rentan mengalami konflik emosional selama perpisahan dan perceraian orangtuanya.
  • Anak-anak besar acap menarik diri dari kehidupan rumah dan mencari keintiman dari luar rumah.
  • Bila perceraian terjadi saat anak-anak sudah ABG (umur 12 – 15 tahun), mereka cenderung bereaksi dalam dua cara yang sangat berbeda: berusaha untuk tidak tumbuh besar atau sebaliknya, mempercepat perkembangan menuju masa remaja.
  • Anak-anak ‘baru gede’ juga cenderung mengalami peningkatan agresi, hilangnya keyakinan diri, dan kesepian. Anak-anak lelaki lebih mungkin depresi daripada anak perempuan.
  • Penderitaan anak-anak tidak mencapai puncak saat perceraian berlangsung dan kemudian menurun. Sebaliknya, efek emosional perceraian orangtua bisa dimainkan dan diputar ulang sepanjang tiga dekade (30 tahun) berikutnya kehidupan anak.
  • Setelah bercerai, anak-anak cenderung menjauh perasaannya dari orangtua yang mengasuhnya maupun yang tidak mengasuhnya.
  • Anak lelaki, utamanya jika mereka hidup bersama ibunya, lebih menunjukkan kebencian pada perceraian orangtuanya, dibandingkan anak perempuan, baik segera setelah perceraian maupun bertahun-tahun setelahnya. Anak perempuan kerap berperilaku lebih buruk jika tinggal dengan pria dewasa, baik ayahnya sendiri, ayah tiri maupun ayah angkat.
  • 15 tahun setelah perceraian, hanya 10 persen anak-anak yang berpandangan positif pada perceraian orangtuanya.
  • Sebagai orang dewasa, hanya 50 persen anak dari orangtua bercerai yang dekat dengan orangtuanya, dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga utuh.
  • Perceraian terbukti mengurangi kemampuan anak-anak mengatasi konflik. Dalam perkawinan mereka sendiri, anak-anak dari orangtua bercerai lebih mungkin mengalami ketidakbahagiaan, memperbesar konflik, mengurangi komunikasi dengan pasangannya, bertikai, berteriak saat bertengkar, dan menyerang pasangan secara fisik ketika berdebat.
  • Takut akan penolakan teman sebaya dua kali lipat di antara remaja dari orangtua bercerai.
  • Anak-anak dari orangtua yang bercerai, baik oleh orangtuanya sendiri maupun oleh gurunya, dianggap buruk dalam hubungan pertemanan, suka menunjukkan permusuhan pada orang dewasa, kecemasan, menarik diri, tidak memperhatikan, dan agresif dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga utuh.
  • Selama bertahun-tahun, banyak pakar percaya bahwa efek perceraian pada anak-anak sangat keras pada saat perpisahan terjadi. Akan tetapi, sekarang banyak yang sepakat bahwa dampak terkuat perceraian terjadi pada usia awal 20-an. Bagi anak-anak muda, ini merupakan masa ketika hubungan pria dan wanita menjadi fokus utama sehingga pengaruh perceraian orangtua makin meningkat.
  • Probabilitas perceraian bagi anak-anak yang orangtuanya bercerai dua kali lipat dibandingkan risiko anak-anak dari keluarga utuh.
  • Anak perempuan dari orangtua bercerai cenderung lebih sering bercerai daripada anak lelaki dari orangtua bercerai. Risikonya 87 persen lebih tinggi selama masa-masa awal perkawinan untuk anak perempuan dari keluarga bercerai dibandingkan dengan anak perempuan yang berasal dari keluarga utuh.
  • Setelah perceraian orangtuanya, anak-anak lebih mungkin berhenti menjalankan ibadah dan melepas keyakinan agamanya.



Usai Bercerai, Ayah Tak Membiayai Anak-anaknya
Sebagian Besar Ayah Tidak Membiayai Anaknya


Ada fakta menyedihkan: mayoritas lelaki yang bercerai tidak pernah membiayai anak-anaknya sama sekali. Ini bukti lapangan dari Indonesia lho, bukan dari negara lain. Ini juga bukan fenomena pedesaan saja, tetapi juga terjadi di perkotaan dan pada mereka yang berpendidikan tinggi.
Data lebih rinci mengenai efek perceraian pada pasangan atau orangtua dikemukakannya di bawah ini:
  • Janda cerai dan anak-anak paling menderita secara ekonomis. Tidak lebih dari 25 persen duda cerai yang masih mendukung sepenuhnya keuangan anak-anaknya secara konsisten (ini antara lain karena dalam hukum Islam, janda yang telah melewati masa idah, apalagi yang telah menikah kembali, sudah tidak perlu lagi diberi dukungan finansial oleh mantan suaminya). Seperempatnya lagi hanya membayar sebagian atau tidak konsisten. Dan malah sekitar separuhnya tidak pernah membayar apa-apa.
  • Setelah bercerai, sebanyak 40 persen orangtua begitu stres sehingga kurang bisa merawat anak-anaknya. Mereka sering mengubah pola pengasuhan, dari kaku menjadi serba membolehkan, dan dari berjarak secara emosional menjadi sangat bergantung.
  • Ayah yang bercerai lebih mungkin memiliki hubungan dekat dengan anak-anaknya; tetapi semakin muda usia anak pada saat bercerai, lebih besar kemungkinan si ayah lari dari kontak teratur dengan anak-anaknya.
  • Satu dari lima ayah tidak pernah menengok anaknya dalam satu tahun terakhir. Semakin besar usia anak, semakin jarang ayahnya menjenguknya. Frekuensi pertemuan ini makin jarang jika anak-anak tinggal bersama ibunya yang telah menikah lagi.
  • Perkawinan kembali setelah bercerai cenderung tidak stabil, lebih sering putus, dan lebih cepat berakhir daripada perkawinan untuk pertama kali. Perkawinan kembali 50 persen lebih mungkin bercerai dalam lima tahun pertama dibandingkan perkawinan pertama.
  • Depresi klinis, secara keseluruhan lebih tinggi di antara janda cerai, namun duda cerai paling tinggi di antara mereka yang belum pernah depresi. Depresi paling akut di antara mereka yang bercerai yang tidak memiliki konflik konsisten, dan di antara mereka yang terisolasi secara sosial.
  • Jika orangtua kedua pasangan bercerai, risiko perceraian meningkat sampai 620 persen pada awal-awal perkawinan, tetapi menurun hingga tinggal 20 persen seteleh melewati 11 tahun usia perkawinan.


                                                                                            **


By Dr. Dono Baswardono, AISEC, CHT, MA, Ph.D
– psikoanalis & grafolog – Anggota Asosiasi Grafolog Belanda.
Untuk konsultasi dan permintaan seminar/training, hubungi Intan di 0813-1641-0088.

AURA-GRAPHOLOGY PSYCHODIAGNOSTICS: Untuk mengetahui bakat, IQ, EQ, MQ, motivasi, karakter, temperamen dan kepribadian serta potensi kepemimpinan, relasi sosial dan bakat bisnis anak-anak maupun diri Anda dan pasangan. Metoda ini sangat detail dan akurat; bakat misalnya bisa diketahui bakat aktif maupun bakat reseptif. Kesesuaian pola komunikasi antar pasangan juga dapat diketahui. Untuk mengikutinya, silahkan menghubungi Intan di 0813-1641-0088.